“Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat.”
Kesalahan
diri sendiri tidak terlihat, tetapi kesalahan orang lain terlihat jelas.
Seperti itulah realita dari penegakan hukum
di Indonesia. Banyak kasus-kasus besar yang tidak tertangani, tapi kasus-kasus kecil dijerat dengan hukuman berat dan
bahkan tidak sepantasnya.
Penyimpangan
dan ketidakadilan yang terjadi, dapat dikatakan sangat merugikan bagi proses penegakan hukum kita sekarang ini,
oleh karena penyimpangan dan ketidakadilan tersebut telah mengakibatkan
kehancuran pada sistem hukum dan menurunkan kepercayaan masyarakat pada hukum.
Contohnya, kasus-kasus korupsi, suap, dan pemerasan di dalam lembaga peradilan,
dan sebagainya.
Aparat
hukum banyak disuap oleh penguasa dan orang-orang berduit. Kasus suap-menyuap
ini bukan hal baru bagi masyarakat. Bahkan dijadikan adat oleh kalangan
penguasa berduit. Modus penyuapan kepada aparat hukum cukup beragam. Para
pelaku penyuap bukan hanya memberikan uang. Hal ini di ungkapkan oleh ketua
divisi polhukum kontras, Erwin pratogi, di kantor tempo, jl. Proklamasi,
Jakarta.
Erwin
mengatakan ada 10 modus penyuapan aparat penegak hukum. Pertama setoran/gaji buta
setiap bulan nya. Menanggung biaya kunjungan dinas, fasilitas transportasi
gratis. Pemberian fasilitas pribadi berupa ponsel, pulsa, kartu kredit, dan
kendaraan bermotor, asuransi kesehatan/jiwa dan lain sebagainya. Pemberian
fasilitas kerja. ,membiayai proses penyidikan termasuk success free penanganan
kasus. Menanggung biaya entertainmenet, seperti mentraktir ke tempat makan,
karaoke, pub, golf, dan penginapan. Pemberian hadiah/sovenir berupa penaikan
pangkat/jabatan tertentu.
Menanggung biaya pendidikan dinas pada tiap tingkatan. Pemberian THR. Donasi kegiatan instansi.
Menanggung biaya pendidikan dinas pada tiap tingkatan. Pemberian THR. Donasi kegiatan instansi.
Bukti
nyata kasus penyuapan aparat penegak hukum ini dapat kita lihat jelas dari
kasus, yaitu Mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dinyatakan bersalah, terbukti melakukan tindak pidana korupsi
dalam pencairan klaim Bank Bali terhadap Bank Dagang Nasional senilai Rp
904,647 miliar. Dia divonis dua tahun penjara, dan denda Rp
15 juta. Tetapi, Pengadilan Tinggi Jakarta, melalui putusannya No.
78/Pid/2002/PT.DKI, maling kelas kakap ini justru diputus
bebas oleh pengadilan.
Begitu juga dengan
Artalyta Suryani seorang pengusaha
wanita yang mendapatkan fasilitas mewah di “kamar hotel” lembaga pemasyarakatan,
atau kasus Gayus Tambunan yang bebas bertamasya ke Bali bahkan luar negeri padahal sedang
dalam masa tahanan. Sementara itu jauh di pelosok negeri kita, seorang nenek
terpaksa dihukum dan masuk persidangan tanpa pengacara karena hal yang sangat
sederhana dan murah, mencuri 3 buah kakao. Atau nasib para narapidana kere yang berdesakan berebut tempat berbaring di balik jeruji pejara. Dan
masih banyak kasus di Negara yang belum terungkap pada public.
Perkara keadilan hukum di Indonesia memang masih tebang
pilih, berpihak pada masyarakat atas dan kadang menjadi musuh bagi masyarakat
ke bawah. Hal ini dikarenakan Kurangnya kesadaran hukum aparat
penegak hukum dalam menegakkan hukum, budaya hukum masyarakat yang masih kurang
tanggap terhadap hukum, serta kesadaran hukum masyarakat yang masih tergolong
rendah.
Oleh karena itu, kita
seharusnya berbenah dari sekarang memperbaiki apa yang masih perlu
mendapat pembenahan di negara, khususnya recuitment dalam kalangan para penegak
hukum kita dan masyarakat sebagai faktor yang dapat mempengaruhi tegaknya
hukum. Pembenahan harus dimulai dari lingkungan penegak hukum atau lembaga
penegakan hukum kemudian ke lingkungan pemerintahan dan selanjutnya turun
hingga mencakup masyarakat luas hingga tumbuhnya kesadaran hukum bagi seluruh
kalangan masyarakat tanpa terkecuali penegak hukumnya. Karena bagaimana pun setiap masyarakat ingin
merasakan keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar