Selasa, 17 Februari 2015

Dunia Peradilan


“Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat.”
Kesalahan diri sendiri tidak terlihat, tetapi kesalahan orang lain terlihat jelas. Seperti itulah realita dari penegakan hukum di Indonesia. Banyak  kasus-kasus besar yang tidak tertangani, tapi kasus-kasus kecil dijerat dengan hukuman berat dan bahkan tidak sepantasnya.
Penyimpangan dan ketidakadilan yang terjadi, dapat dikatakan sangat merugikan  bagi proses penegakan hukum kita sekarang ini, oleh karena penyimpangan dan ketidakadilan tersebut telah mengakibatkan kehancuran pada sistem hukum dan menurunkan kepercayaan masyarakat pada hukum. Contohnya, kasus-kasus korupsi, suap, dan pemerasan di dalam lembaga peradilan, dan sebagainya.
Aparat hukum banyak disuap oleh penguasa dan orang-orang berduit. Kasus suap-menyuap ini bukan hal baru bagi masyarakat. Bahkan dijadikan adat oleh kalangan penguasa berduit. Modus penyuapan kepada aparat hukum cukup beragam. Para pelaku penyuap bukan hanya memberikan uang. Hal ini di ungkapkan oleh ketua divisi polhukum kontras, Erwin pratogi, di kantor tempo, jl. Proklamasi, Jakarta.
Erwin mengatakan ada 10 modus penyuapan aparat penegak hukum. Pertama setoran/gaji buta setiap bulan nya. Menanggung biaya kunjungan dinas, fasilitas transportasi gratis. Pemberian fasilitas pribadi berupa ponsel, pulsa, kartu kredit, dan kendaraan bermotor, asuransi kesehatan/jiwa dan lain sebagainya. Pemberian fasilitas kerja. ,membiayai proses penyidikan termasuk success free penanganan kasus. Menanggung biaya entertainmenet, seperti mentraktir ke tempat makan, karaoke, pub, golf, dan penginapan. Pemberian hadiah/sovenir berupa penaikan pangkat/jabatan tertentu.
Menanggung biaya pendidikan dinas pada tiap tingkatan. Pemberian THR. Donasi kegiatan instansi.
Bukti nyata kasus penyuapan aparat penegak hukum ini dapat kita lihat jelas dari kasus, yaitu Mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinyatakan bersalah, terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pencairan klaim Bank Bali terhadap Bank Dagang Nasional senilai Rp 904,647 miliar. Dia divonis dua tahun penjara, dan denda Rp 15 juta. Tetapi, Pengadilan Tinggi Jakarta, melalui putusannya  No. 78/Pid/2002/PT.DKI, maling kelas kakap ini justru diputus bebas oleh pengadilan.

 Begitu juga dengan Artalyta Suryani seorang pengusaha wanita yang mendapatkan fasilitas mewah di “kamar hotel” lembaga pemasyarakatan, atau kasus Gayus Tambunan yang bebas bertamasya  ke Bali bahkan luar negeri padahal sedang dalam masa tahanan. Sementara itu jauh di pelosok negeri kita, seorang nenek terpaksa dihukum dan masuk persidangan tanpa pengacara karena hal yang sangat sederhana dan murah, mencuri 3 buah kakao. Atau nasib para narapidana kere yang berdesakan berebut tempat berbaring di balik jeruji pejara. Dan masih banyak kasus di Negara yang belum terungkap pada public.  

Perkara keadilan hukum di Indonesia memang masih tebang pilih, berpihak pada masyarakat atas dan kadang menjadi musuh bagi masyarakat ke bawah. Hal ini dikarenakan Kurangnya kesadaran hukum aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum, budaya hukum masyarakat yang masih kurang tanggap terhadap hukum, serta kesadaran hukum masyarakat yang masih tergolong rendah.

Oleh karena itu, kita seharusnya berbenah dari sekarang  memperbaiki apa yang masih perlu mendapat pembenahan di negara, khususnya recuitment dalam kalangan para penegak hukum kita dan masyarakat sebagai faktor yang dapat mempengaruhi tegaknya hukum. Pembenahan harus dimulai dari lingkungan penegak hukum atau lembaga penegakan hukum kemudian ke lingkungan pemerintahan dan selanjutnya turun hingga mencakup masyarakat luas hingga tumbuhnya kesadaran hukum bagi seluruh kalangan masyarakat tanpa terkecuali penegak hukumnya. Karena bagaimana pun setiap masyarakat ingin merasakan keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar